Minggu, 05 Oktober 2008

Koordinasi antara Elite Lokal Tangerang dan Kekuatan Subsistem Dalam Ruang Politik di Tingkat Lokal

Oleh Jatu Setiono

Pilkada dan pemilihan walikota merupakan ajang bagi seluruh kekuatan politik di masyarakat untuk memenangkan kursi kekuasaan di daerahnya masing-masing. Partisipasi mereka dalam acara semacam itu menunjukkan berjalannya sistem pemerintahan yang demokrasi. Selain itu, penguatan lembaga politik dan pendidikan politik yang benar di suatu daerah dapat dievaluasi keberhasilannya dengan beracuan pada keberlangsungan kegiatan pemilihan umum yang dilangsungkan disana. Hal demikian menjadi indikator yang kerap mendapatkan perhatian dari masyarakat dan berbagai kalangan yang kritis dan turut serta dalam berjalannya pemerintahan daerah. Diantaranya adalah elite lokal yang hidup dan berpengaruh di suatu lingkungan masyarkat yang menjadi bagian dari daerah.

Di tangerang, elite lokal tidak dapat disangkal lagi menjadi bagian penting dalam pengembangan kehidupan demokrasi di Indonesia. Mereka memiliki kapabilitas sebagai pemimpin masyarakat yang cukup diakui keberadaannya oleh masyarakat setempat. Pada umumnya, mereka terdiri dari elite berlegitimasikan ikatan tradisional (termasuk didalamnya elite dari kelompok islam), elite yang berlegitimasikan jabatan di kursi pemerintahan,elite yang berlegitimasikan kekayaan harta benda, dan elite dari kalangan militer. Peran elite tersebut sangat kentara dalam lapangan kehidupan masyarakat tangerang. Mereka memiliki ruang lingkup yang berbeda dan saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Mereka juga berasal dari berbagai latar belakang suku.

Dalam kegiatan pembangunan yang dirancang pemerintah, elite lokal mendapatkan posisi yang cukup penting sebagai stabilator dan constructor daerah. Sikap saling menghargai dan memberi diantara pemerintah dan elite lokal menjadi salah satu faktor pendorong terciptanya kestabilan dan kelancaran kegiatan pembangunan daerah.Hal demikian ditunjukkan pemerintah daerah dan pusat dengan tidak mengganggu gugat otoritas mereka selama penerapan otonomi daerah. Eksistensi mereka tetap mendapatkan perhatian dan dinamika pergeseran kepimpinan baik di lingkungan internal maupun eksternal juga masih berlangsung seperti sediakala. Dengan begitu, pemerintah tampaknya bekeinginan memanfaatkan mereka sebagai mitra politik ataupun kawan unutk bersaing dalam ruang politik daerah.


Berkoordinasi Untuk Memenuhi Kebutuhan Pemerintah

Pemerintah daerah dibentuk dan diselenggarakan sesuai dengan UUD 45 pasal 18.Dalam pasal itu, pemerintah daerah dijalankan menurut prinsip permusyawaratan. Prinsip ini mengharuskan pemerintah untuk tetap merangkul elite lokal dalam menyelesaikan masalah-masalah sekitar pembangunan daerah. Hal demikian disebabkan adanya hubungan yang cukup erat antara elite lokal dan masyarakat di suatu wilayah yang jadi perhatian pemerintah. Tanpa adanya koordinasi dan komunikasi dengan elite lokal, pemerintah tampaknya akan mengalami kesusahan untuk menfasilitasi semua elemen masyarakat dalam menyelesaikan masalahnya masing. Akan tetapi, bentuk kerjasama semacam itu bukan berarti meniadakan keterlibatan seluruh elemen masyarakat. Sinergisitas antara elite lokal dan pemerintah hanyalah sebagian kecil dari seluruh sistem pemerintahan daerah.

Di tangerang, beberapa bentuk kerja sama antara elite lokal dan pemerintah tangerang dapat dilihat di beberapa daerah. Seperti halnya, pembangunan fasilitas publik dan pemulihan lingkungan masyarakat. Dalam kedua kegiatan tersebut, elite lokal tidak jarang, ikut terlibat dalam memobilisasi masyarakat agar turut serta dalam pelaksanaan program pemerintah daerah. Mereka juga meniadi pamong yang dapat menetralisir keadaan seandainya terjadi konflik ataupun ketegangan antara masyarakat dan pemerintah. Melalui pendekatan-pendekatan yang komunikatif dan persuasif , elite lokal memang dapat diandalkan oleh pemerintah sebagai penyambung lidah masyarakat.

Meskipun begitu, pengaruh dan legitimasi yang dimiliki elite lokal belum tentu dapat menutupi kelemahan aparat pemerintah dalam melaksanakan program-programnya. Di beberapa daerah di sekitar Tangerang , aparat pemerintah tidak jarang mendapatkkan penolakan bahkan perlawanan dengan kekerasan dari kelompok-kelompok masyarakat. Hal demikian dapat terjadi karena kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan mendapatkan intervensi dari oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang tidak menyukai pemerintah .Selain itu, aparat pemerintah memang kurang berkoordinasi dengan pihak kepolisian sebelum melakukan suatu kegiatan. Kelalaian semacam itu tentunya malah menjadi penghambat bagi aparat pemerintah.


Koordinasi dalam Mengembangkan Demokrasi

Sebagai elemen fungsional , elite lokal tidak dapat lagi diragukan kemampuannya sebagai patron di suatu lingkungan masyarakat. Mereka adalah generasi yang muncul di dalam proses penaikan hierarki melalui pemberian status dan kekuasaan secara ascribed dan achieved. Konstetasi diantara mereka dapat berlangsung di dalam lapangan politik yang formal maupun substansial. Untuk itu, pemerintah sebagai fasiltator perlu berkoordinasi dengan mereka agar potensi konflik yang ada dapat diminimalisir serta dinetralisir sesegera mungkin bila terjadi di saat yang tidak ddiduga. Salah satu cara , pemerintah membentuk lembaga-lembaga formal yang menampung kelompok-kelompok milik elite lokal dalam satu wadah.

Proses penyatuan serta penataan kelompok masyarakat milik elite diperlukan agar fungsi pengawasan dalam pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Selain itu, proses kualifikasi yang terdapat di dalamnya juga bisa memacu penguatan lembaga-lembaga politik di sekitar tangerang. Hal tersebut sangat berguna bagi masyarakat yang mengindahkan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupannya. Negasasi antar kelompok melalui proses ini merupakan cara yang dirasa sesuai oleh berbagai kalangan untuk mengembangkan demokrasi itu sendiri di masyarakat tangerang.

Selain itu, komposisi antara elite yang berpartisipasi dalam partai politik maupun tidak juga harus tetap diperhatikan. Ini diperlukan agar pemberdayaan politik di dalam lembaga formal tidak terjatuhkan oleh aktivitas mobilisasi massa di lingkup substansial. Disamping itu, perubahan-perubahan konstelasi maupun pergeseran kepimpinan di lingkungan masyarakat yang terjadi begitu cepat dapat mengakibatkan peristiwa-peristiwa kekerasan yang dapat mengganggu aktivitas pemerintahan dan keseharian penduduk tangerang. Pemerintah sebagai fasilitator bertanggung jawab besar apabila hal tersebut terjadi. Untuk itu, prinsip demokrasi perlu dikedepankan dalam mengatur dan mengawasi proses politik di tingkat lokal.

Selasa, 30 September 2008

Otonomi Daerah untuk Elite Lokal

Diambil dari Kompas , edisi Kamis 18 Mei 2006

WINDORO ADI

Pada 24-28 April lalu delegasi Panitia Ad Hoc IV Dewan Perwakilan Daerah berkunjung ke Maluku Utara. Kunjungan ini adalah satu dari tiga rangkaian kegiatan bertema "Penemuan Fakta Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2005 dan Penyerapan Masukan untuk Perencanaan APBN Tahun Anggaran 2007".
Dari setumpuk temuan mengenai pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di sejumlah daerah muncul kesimpulan sementara bahwa pelaksanaan otonomi daerah sampai sekarang cuma menguntungkan elite lokal.
Temuan itu, seperti disampaikan Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) IV Anthony Charles Sunaryo dan wakilnya, Ruslan Wijaya, adalah munculnya kecenderungan kepala daerah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk proyek mercusuar ketimbang dimanfaatkan untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
"Begitu menjadi kepala daerah, yang pertama mereka pikirkan adalah membangun atau merenovasi rumah dinas agar menjadi mewah, atau segera membeli Corolla Altis atau sekurangnya Kijang Innova, lalu membangun stadion, gedung-gedung pemerintah daerah, atau rumah ibadah yang wah pula," papar Anthony yang juga anggota DPD Maluku Utara.
Ruslan, anggota DPD dari Sumatera Selatan, memperkirakan rasio penggunaan dana APBD untuk proyek mercusuar dibandingkan dengan penggunaan dana untuk membangun dan meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah 60 persen berbanding 30 persen, sedangkan 10 persen untuk yang lain.
Menurut Ruslan, meningkatnya pola hidup mewah kepala daerah tersebut tidak diimbangi dengan meningkatnya produktivitas dan kemandirian mereka dalam mengembangkan potensi daerah. Justru sebaliknya, "Memasuki era otonomi daerah, kepala daerah justru mengharapkan lebih banyak bantuan dari ’pusat’, dan mengabaikan pengembangan kekayaan potensi daerah yang sebenarnya berlimpah dan mudah dijadikan sumber ekonomi baru daerah," papar Ruslan.
Jangan heran bila kepala daerah bersangkutan lebih sering keluar-masuk karaoke di Jakarta, melobi para pejabat pusat untuk memperoleh antara lain dana alokasi umum (DAU) dan dana dekonsentrasi (dekon). "Siapa yang jago melobi para pejabat kementerian akan cepat memperoleh dekon dan siapa yang terampil mendekati para pejabat departemen keuangan akan dengan mudah mendapat DAU," ungkap anggota PAH IV, Benyamin Bura.
Menurut anggota DPD Sulawesi Selatan itu, seharusnya DAU dibuat berdasarkan formula tertentu, sedangkan dekon diajukan berdasarkan kriteria tertentu. Tetapi, di balik pintu tempat hiburan, kerepotan seperti itu bakal sirna.
Tak heran kalau akhirnya, seperti disampaikan Ruslan, sisi pengeluaran daerah jauh lebih banyak ketimbang sisi pemasukan. Ironisnya, untuk memulihkan ketimpangan APBD, pemerintah daerah bukannya mengembangkan potensi lokal untuk mempercepat roda perekonomian daerah, tetapi justru memperbanyak pungutan daerah yang kian memberatkan masyarakat dan membuat lesu dunia usaha.
"Karena mau membuktikan kemampuan sendiri, ditetapkanlah berbagai retribusi daerah yang tak masuk akal dan membebani masyarakat serta membuat ekonomi biaya tinggi," tutur Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita.
Barangkali, Provinsi Kalimantan Timur bisa menjadi contoh kurang baik seperti disampaikan delapan anggota DPR dan DPD Kaltim beberapa waktu lalu.
Anggota DPR Fraksi Partai Amanat Nasional, Mohammad Yasin Kara, yang bertindak sebagai juru bicara mereka mengungkapkan, gubernur lebih suka membangun proyek mercusuar ketimbang membangun jalan, sampai-sampai banyak desa di provinsi kaya tersebut tidak mempunyai jalan penghubung ke kecamatan setempat. Untuk membeli bahan pokok, sebagian warga terpaksa menggunakan uang ringgit Malaysia.
Di tengah berbagai kemiskinan di daerahnya, gubernur justru merenovasi kantor gubernur senilai Rp 70 miliar. Proyek ini, lanjut Yasin, tidak tercantum dalam APBD.
Selain itu, merenovasi rumah dinas gubernur senilai Rp 71 miliar yang dilakukan tanpa proses tender dan membangun Islamic Center Rp 800 miliar yang diduga diwarnai penggelembungan dana, seperti halnya pembangunan sarana GOR Sempaja senilai Rp 400 miliar.
Belum lagi pembangunan sarana PON GOR Palaran senilai Rp 900 miliar. Kedelapan wakil rakyat itu menilai proyek ini tidak memiliki perencanaan yang jelas dan transparan. Efektivitasnya pun dipertanyakan.
"Dalam beberapa kali pertemuan dengan DPRD Kaltim, gubernur mengubah-ubah nilai proyeknya. Awalnya Rp 1,9 triliun, lalu turun menjadi Rp 600 miliar. Naik lagi jadi Rp 900 miliar dan terakhir membengkak menjadi Rp 1,1 triliun," ungkap anggota DPD, Luther Kombong, pengusaha sawit yang paling getol bersuara soal korupsi dan perusakan lingkungan di Kaltim.
Menurut Yasin, sejak tujuh tahun lalu, APBD Kaltim secara kumulatif sudah mencapai Rp 70 triliun. Tahun ini saja APBD Provinsi Kaltim yang memiliki 13 kabupaten mencapai Rp 14 triliun. Sebanyak Rp 4 triliun di antaranya terserap provinsi. Tetapi, karena semangat pola hidup mewah pejabat daerahnya, lanjut anggota DPD Kaltim lainnya, Nursyamsa Hadis, Kaltim miskin fasilitas umum, fasilitas sosial, apalagi pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis seperti yang ada di Kabupaten Jembrana, Musi Banyuasin, atau Solok.
Menanggapi hal itu, Kepala Biro Humas Pemerintah Provinsi Kaltim Jauhar Efendi menyatakan, atas permintaan gubernur, audit terhadap proyek-proyek itu sedang dilaksanakan.

Melanggengkan kekuasaan

Lalu bagaimana para kepala daerah melanggengkan hidup mewahnya lewat pilkada? Menurut sejumlah anggota DPD, ada dua cara yang umumnya mereka tempuh.
Cara pertama adalah cara pragmatis, lewat uang politik semasa pilkada, atau dengan cara tidak mengusik usaha ekonomi rakyat meski usaha tersebut merusak lingkungan. Itulah yang terjadi di Bangka Belitung, seperti disampaikan anggota DPD Bangka Belitung, Fadjar Fairi Husni.
Menurut dia, meski lingkungan di Bangka Belitung kian rusak oleh kegiatan pertambangan liar penduduk, kepala daerah membiarkan itu terus terjadi. "Pilihannya kan cuma satu, tidak mengusik penduduk agar terpilih kembali dalam pilkada, atau tergusur dan menjadi aktivis LSM lingkungan," ujar Fadjar.
Cara kedua, menjual komoditas politik yang berbau agama. Cara kedua ini, seperti diakui pakar otonomi daerah Ryaas Rasyid dan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti, menjadi cara paling murah dan efektif memanipulasi emosi rakyat agar seseorang bisa terpilih kembali dalam pilkada berikutnya.
"Sesuatu yang tidak riil, tetapi mudah membutakan akal sehat masyarakat yang taat beragama," tutur Bivitri. Padahal, menurut Ryaas Rasyid, daerah seharusnya tak boleh mengurus atau membuat peraturan daerah (perda) soal agama. "Itu urusan pemerintah pusat seperti diatur dalam konstitusi. Tak boleh ada pembenaran atas nama demokrasi di daerah. Ini namanya salah kaprah," ujarnya.
Seharusnya, lanjut Ryaas, Menteri Dalam Negeri dan atau Departemen Dalam Negeri tegas melarang perda yang membuat pusat dan daerah menjadi seperti negara dalam negara. Seharusnya, para wakil rakyat di Senayan ikut bereaksi keras terhadap munculnya perda yang jelas bertentangan dengan konstitusi. "Tetapi kan semua diam. Diam karena takut tidak dipilih lagi oleh konstituennya. Yang menjadi komitmen mereka akhirnya cuma kekuasaan karena kekuasaan mampu melanggengkan hidup mewah," ucap Ryaas.
Jika kedua cara yang ditempuh tak juga membuat mereka yang haus kekuasaan kalah dalam pilkada, demikian Ginandjar, cara terakhir yang ditempuh adalah melakukan tindakan anarkis lewat massa masif.

Idealnya

Menurut Ginandjar, otonomi daerah sebenarnya sebuah keharusan untuk sebuah negara besar seperti Indonesia. "Otonomi atau desentralisasi kekuasaan adalah bagian dari proses demokratisasi," ujarnya.
Otonomi menjamin kohesi sosial dan kelestarian budaya masyarakat daerah. Otonomi juga bertujuan pembangunan ekonomi sukses. "Otonomi, selain harus menjamin hak-hak daerah atas sumber daya yang dimiliki, juga memberikan kesempatan berkembangnya potensi dan kearifan lokal," papar Ginandjar.
Menurut Wakil Ketua PAH IV Eka Komariah Kuncoro, implementasi otonomi daerah seharusnya dilakukan secara bertahap dan terkontrol teliti karena tidak semua daerah siap dengan otonomi daerah, terutama menyangkut kemampuan sumber daya manusia, kemampuan mengelola dan mengembangkan potensi ekonomi daerah, serta tingkat kepemimpinan elite lokal.
Eka berpendapat, seharusnya "pusat" membuat dulu secara rinci petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Lalu memilih sejumlah daerah sebagai proyek percontohan yang kemudian dievaluasi. Hasil evaluasi menjadi masukan bagi perbaikan juklak, juknis, bahkan menjadi bahan revisi kedua UU tersebut. "Hasil akhirnya, sebuah produk undang-undang yang implementatif dan efektif untuk semua daerah," papar Eka.
Hal senada disampaikan Ryaas Rasyid. Bivitri menambahkan, karena kondisinya sudah telanjur seperti sekarang, sebaiknya Depdagri segera membentuk tim khusus agar proses otonomi daerah kembali ke jalur yang tepat seperti yang diidealkan tadi.
Tim ini bertugas mengevaluasi, mengawasi, dan memberi masukan kepada Mendagri tentang tindakan yang harus dilakukan Mendagri. "Terutama menyangkut evaluasi dan perbaikan koordinasi kerja antara daerah tingkat satu, tingkat dua, dan pusat. Antara legislatif dan eksekutif lokal dengan yang di pusat," ujar anggota PAH IV lainnya, PRa Arief Natadiningkrat.
Menurut dia, selain dibutuhkan untuk membangun sinergi, koordinasi ini juga berperan mengikat keberagaman kultur, etnis, agama, serta aliran kepercayaan yang hidup.
Yang terjadi saat ini, kata Ginandjar, otonomi daerah dimaknai sebagai pembentukan pusat-pusat kekuasaan baru, atau dengan istilah anggota PAH IV, Nyoman Rudana, pembentukan kelompok-kelompok feodal baru.
Menurut Benyamin, ini bisa terjadi karena rendahnya wawasan politik dan kebangsaan elite lokal yang membuat mereka cuma berputar pada kepentingan lokal. Orang-orang seperti ini, kata Benyamin, mudah mengabaikan kepentingan nasional, apalagi kepentingan kemanusiaan. "Keterampilan politik mereka pun rendah sehingga sulit mengharapkan mereka kelak bisa menjadi negarawan di tingkat lokal," ungkapnya.
Ginandjar menambahkan, perbaikan otonomi daerah bukannya tanpa harapan. Ada sejumlah kepala daerah yang sukses mengelola daerahnya sehingga pemerintah daerahnya mampu memberi pelayanan gratis di sektor pendidikan dan kesehatan.
Meski demikian, sukses tersebut, seperti disampaikan Ryaas Rasyid, masih lebih tergantung individu pemimpinnya membangun sebuah sistem pemerintahan daerah yang baik.
Padahal, yang diharapkan daerah terhadap pusat adalah penyediaan sebuah sistem otonomi daerah yang menyeluruh yang mampu membentuk individu-individu berkualitas. Jadi, bukan sebaliknya, menggantungkan nasib masyarakat daerah hanya kepada segelintir elite lokal. Bila demikian halnya, proses otonomi daerah sebenarnya hanya ditujukan untuk elite lokal. Atau, seperti disebutkan Ginandjar, "untuk membangun pusat-pusat kekuasaan baru".


Partai Politik Lokal

Artikel diambil dari tempointeraktif.com, edisi 22 Juli 2005

Di antara butir kesepakatan yang dihasilkan dalam perundingan antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia, ada pemberian amnesti kepada anggota GAM berikut pemulihan hak-hak politik, ekonomi, dan sosial.
Salah satu bentuk pemulihan hak politik yang begitu ramai dibicarakan adalah keinginan GAM membentuk partai politik lokal di Nanggroe Aceh Darussalam.
Ramainya pembicaraan terhadap keinginan GAM tidak hanya terbatas pada kemungkinan hadirnya partai politik lokal di Aceh, tapi kemungkinan terjadinya efek domino terhadap daerah lain di Indonesia. Apalagi keinginan membentuk partai politik lokal sudah terdengar sejak awal reformasi.
Setidaknya keinginan itu didasari pengalaman kehadiran partai politik lokal dalam Pemilihan Umum 1955. Artinya, dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan Indonesia, partai politik lokal bukan sesuatu yang ahistoris.
Buktinya, berkaca pada hasil Pemilihan Umum 1955, Herbert Feith membagi empat kelompok partai politik yang mendapatkan suara di DPR dan Konstituante, yakni partai besar, menengah, kelompok kecil yang bercakupan nasional, dan kelompok kecil yang bercakupan daerah.
Kelompok terakhir ini, menurut Feith, bisa dikategorikan partai atau kelompok yang bersifat kedaerahan dan kesukuan. Misalnya munculnya Partai Rakyat Desa, Partai Rakyat Indonesia Merdeka, Gerakan Pilihan Sunda, Partai Tani Indonesia, dan Gerakan Banteng di Jawa Barat. Tidak hanya itu, di daerah lain ada Gerinda di Yogyakarta dan Partai Persatuan Daya di Kalimantan Barat.
Sekalipun secara historis kehadiran partai politik lokal punya dasar yang cukup kuat, apakah dari aspek hukum (tata negara) kehadiran partai politik lokal dapat dibenarkan? Pertanyaan ini menjadi penting karena ada pendapat yang mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Partai Politik tidak memungkinkan adanya partai politik lokal.
Kalau dibaca dengan cermat UUD 1945, Pasal 28 mengamanatkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Salah satu sarana untuk mewujudkan kebebasan berserikat dan berkumpul itu adalah dengan membentuk partai politik.
Dengan membaca konstruksi hukum yang terdapat dalam Pasal 28, tidak cukup kuat alasan untuk mengatakan bahwa UUD 1945 menutup ruang bagi kehadiran partai politik lokal. Perdebatan bisa menjadi lebih dalam kalau dikaitkan dengan ketentuan bahwa kebebasan kemerdekaan berserikat dan berkumpul itu ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 1 UU Nomor 31/2002 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, dan negara melalui pemilihan umum.
Ketentuan tersebut mengandung makna bahwa partai politik dapat dikatakan sebagai representation of ideas (Ramlan Surbakti, 2002) tentang negara dan masyarakat yang dicita-citakan oleh sekelompok warga negara yang diperjuangkan melalui pemilihan umum. Apalagi, menurut John A. Jacobsohn (1998), the primary function of any political party is to win elections.
Meskipun secara eksplisit dinyatakan dapat dilakukan oleh sekelompok warga negara, pembentukan partai politik hanya dapat dilakukan dengan persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang. Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31/2000 menyatakan bahwa partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 tahun dengan akta notaris.
Sekiranya persyaratan kehadiran partai politik hanya sebatas ketentuan itu, dapat dipastikan tidak sulit membentuk partai politik lokal.
Kesulitan membentuk partai politik lokal muncul karena akta notaris harus memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang disertai susunan kepengurusan tingkat nasional.
Kesulitan makin terasa karena partai politik harus didaftarkan pada Departemen Kehakiman dengan memenuhi salah satu syarat, yaitu mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50 persen dari jumlah provinsi, 50 persen dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25 persen dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan.
Dengan adanya syarat partai politik mempunyai susunan kepengurusan tingkat nasional dan kepengurusan tingkat provinsi (sekurang-kurangnya setengah dari jumlah provinsi yang ada), kehadiran partai politik lokal menjadi hampir tidak mungkin direalisasi. Apalagi kalau mau mengikuti pemilihan umum.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Legislatif hanya memperkenankan partai politik mengikuti pemilihan umum kalau memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di dua pertiga dari jumlah provinsi dan pengurus lengkap sekurang-kurangnya di dua pertiga dari jumlah kabupaten/kota yang ada.
Barangkali menarik mengambil contoh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pasal 28 ayat 1 UU Nomor 21/2001 menentukan bahwa penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik.
Meski tidak secara eksplisit, ketentuan itu sering dimaknai sebagai ruang membentuk partai politik lokal. Apalagi, dalam ayat 3 dan ayat 4, masyarakat asli Papua diprioritaskan dengan meminta pertimbangan kepada Majelis Rakyat Papua. Namun, semangat "partai politik lokal" itu memudar dengan ketentuan dalam ayat 2, yang menegaskan bahwa tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan penjelasan di atas, mengecilnya ruang munculnya partai politik lokal sengaja didesain oleh mayoritas kekuatan politik di tingkat pusat. Padahal, untuk melakukan desentralisasi politik, kehadiran partai politik lokal merupakan sebuah keniscayaan.
Apalagi, dengan pola partai politik (yang serba terpusat) selama ini, aspirasi politik di tingkat lokal cenderung dinegasikan oleh sebagian besar partai politik yang ada. Barangkali kasus yang menimpa Alzier Dianis Thabrani dalam pemilihan Gubernur Provinsi Lampung pada 2002 cukup untuk menjelaskan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh partai politik berskala nasional.


Saldi Isra
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Consultant Parliamentary Caucus Partnership for Governance Reform in Indonesia