Selasa, 30 September 2008

Otonomi Daerah untuk Elite Lokal

Diambil dari Kompas , edisi Kamis 18 Mei 2006

WINDORO ADI

Pada 24-28 April lalu delegasi Panitia Ad Hoc IV Dewan Perwakilan Daerah berkunjung ke Maluku Utara. Kunjungan ini adalah satu dari tiga rangkaian kegiatan bertema "Penemuan Fakta Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2005 dan Penyerapan Masukan untuk Perencanaan APBN Tahun Anggaran 2007".
Dari setumpuk temuan mengenai pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di sejumlah daerah muncul kesimpulan sementara bahwa pelaksanaan otonomi daerah sampai sekarang cuma menguntungkan elite lokal.
Temuan itu, seperti disampaikan Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) IV Anthony Charles Sunaryo dan wakilnya, Ruslan Wijaya, adalah munculnya kecenderungan kepala daerah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk proyek mercusuar ketimbang dimanfaatkan untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
"Begitu menjadi kepala daerah, yang pertama mereka pikirkan adalah membangun atau merenovasi rumah dinas agar menjadi mewah, atau segera membeli Corolla Altis atau sekurangnya Kijang Innova, lalu membangun stadion, gedung-gedung pemerintah daerah, atau rumah ibadah yang wah pula," papar Anthony yang juga anggota DPD Maluku Utara.
Ruslan, anggota DPD dari Sumatera Selatan, memperkirakan rasio penggunaan dana APBD untuk proyek mercusuar dibandingkan dengan penggunaan dana untuk membangun dan meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah 60 persen berbanding 30 persen, sedangkan 10 persen untuk yang lain.
Menurut Ruslan, meningkatnya pola hidup mewah kepala daerah tersebut tidak diimbangi dengan meningkatnya produktivitas dan kemandirian mereka dalam mengembangkan potensi daerah. Justru sebaliknya, "Memasuki era otonomi daerah, kepala daerah justru mengharapkan lebih banyak bantuan dari ’pusat’, dan mengabaikan pengembangan kekayaan potensi daerah yang sebenarnya berlimpah dan mudah dijadikan sumber ekonomi baru daerah," papar Ruslan.
Jangan heran bila kepala daerah bersangkutan lebih sering keluar-masuk karaoke di Jakarta, melobi para pejabat pusat untuk memperoleh antara lain dana alokasi umum (DAU) dan dana dekonsentrasi (dekon). "Siapa yang jago melobi para pejabat kementerian akan cepat memperoleh dekon dan siapa yang terampil mendekati para pejabat departemen keuangan akan dengan mudah mendapat DAU," ungkap anggota PAH IV, Benyamin Bura.
Menurut anggota DPD Sulawesi Selatan itu, seharusnya DAU dibuat berdasarkan formula tertentu, sedangkan dekon diajukan berdasarkan kriteria tertentu. Tetapi, di balik pintu tempat hiburan, kerepotan seperti itu bakal sirna.
Tak heran kalau akhirnya, seperti disampaikan Ruslan, sisi pengeluaran daerah jauh lebih banyak ketimbang sisi pemasukan. Ironisnya, untuk memulihkan ketimpangan APBD, pemerintah daerah bukannya mengembangkan potensi lokal untuk mempercepat roda perekonomian daerah, tetapi justru memperbanyak pungutan daerah yang kian memberatkan masyarakat dan membuat lesu dunia usaha.
"Karena mau membuktikan kemampuan sendiri, ditetapkanlah berbagai retribusi daerah yang tak masuk akal dan membebani masyarakat serta membuat ekonomi biaya tinggi," tutur Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita.
Barangkali, Provinsi Kalimantan Timur bisa menjadi contoh kurang baik seperti disampaikan delapan anggota DPR dan DPD Kaltim beberapa waktu lalu.
Anggota DPR Fraksi Partai Amanat Nasional, Mohammad Yasin Kara, yang bertindak sebagai juru bicara mereka mengungkapkan, gubernur lebih suka membangun proyek mercusuar ketimbang membangun jalan, sampai-sampai banyak desa di provinsi kaya tersebut tidak mempunyai jalan penghubung ke kecamatan setempat. Untuk membeli bahan pokok, sebagian warga terpaksa menggunakan uang ringgit Malaysia.
Di tengah berbagai kemiskinan di daerahnya, gubernur justru merenovasi kantor gubernur senilai Rp 70 miliar. Proyek ini, lanjut Yasin, tidak tercantum dalam APBD.
Selain itu, merenovasi rumah dinas gubernur senilai Rp 71 miliar yang dilakukan tanpa proses tender dan membangun Islamic Center Rp 800 miliar yang diduga diwarnai penggelembungan dana, seperti halnya pembangunan sarana GOR Sempaja senilai Rp 400 miliar.
Belum lagi pembangunan sarana PON GOR Palaran senilai Rp 900 miliar. Kedelapan wakil rakyat itu menilai proyek ini tidak memiliki perencanaan yang jelas dan transparan. Efektivitasnya pun dipertanyakan.
"Dalam beberapa kali pertemuan dengan DPRD Kaltim, gubernur mengubah-ubah nilai proyeknya. Awalnya Rp 1,9 triliun, lalu turun menjadi Rp 600 miliar. Naik lagi jadi Rp 900 miliar dan terakhir membengkak menjadi Rp 1,1 triliun," ungkap anggota DPD, Luther Kombong, pengusaha sawit yang paling getol bersuara soal korupsi dan perusakan lingkungan di Kaltim.
Menurut Yasin, sejak tujuh tahun lalu, APBD Kaltim secara kumulatif sudah mencapai Rp 70 triliun. Tahun ini saja APBD Provinsi Kaltim yang memiliki 13 kabupaten mencapai Rp 14 triliun. Sebanyak Rp 4 triliun di antaranya terserap provinsi. Tetapi, karena semangat pola hidup mewah pejabat daerahnya, lanjut anggota DPD Kaltim lainnya, Nursyamsa Hadis, Kaltim miskin fasilitas umum, fasilitas sosial, apalagi pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis seperti yang ada di Kabupaten Jembrana, Musi Banyuasin, atau Solok.
Menanggapi hal itu, Kepala Biro Humas Pemerintah Provinsi Kaltim Jauhar Efendi menyatakan, atas permintaan gubernur, audit terhadap proyek-proyek itu sedang dilaksanakan.

Melanggengkan kekuasaan

Lalu bagaimana para kepala daerah melanggengkan hidup mewahnya lewat pilkada? Menurut sejumlah anggota DPD, ada dua cara yang umumnya mereka tempuh.
Cara pertama adalah cara pragmatis, lewat uang politik semasa pilkada, atau dengan cara tidak mengusik usaha ekonomi rakyat meski usaha tersebut merusak lingkungan. Itulah yang terjadi di Bangka Belitung, seperti disampaikan anggota DPD Bangka Belitung, Fadjar Fairi Husni.
Menurut dia, meski lingkungan di Bangka Belitung kian rusak oleh kegiatan pertambangan liar penduduk, kepala daerah membiarkan itu terus terjadi. "Pilihannya kan cuma satu, tidak mengusik penduduk agar terpilih kembali dalam pilkada, atau tergusur dan menjadi aktivis LSM lingkungan," ujar Fadjar.
Cara kedua, menjual komoditas politik yang berbau agama. Cara kedua ini, seperti diakui pakar otonomi daerah Ryaas Rasyid dan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti, menjadi cara paling murah dan efektif memanipulasi emosi rakyat agar seseorang bisa terpilih kembali dalam pilkada berikutnya.
"Sesuatu yang tidak riil, tetapi mudah membutakan akal sehat masyarakat yang taat beragama," tutur Bivitri. Padahal, menurut Ryaas Rasyid, daerah seharusnya tak boleh mengurus atau membuat peraturan daerah (perda) soal agama. "Itu urusan pemerintah pusat seperti diatur dalam konstitusi. Tak boleh ada pembenaran atas nama demokrasi di daerah. Ini namanya salah kaprah," ujarnya.
Seharusnya, lanjut Ryaas, Menteri Dalam Negeri dan atau Departemen Dalam Negeri tegas melarang perda yang membuat pusat dan daerah menjadi seperti negara dalam negara. Seharusnya, para wakil rakyat di Senayan ikut bereaksi keras terhadap munculnya perda yang jelas bertentangan dengan konstitusi. "Tetapi kan semua diam. Diam karena takut tidak dipilih lagi oleh konstituennya. Yang menjadi komitmen mereka akhirnya cuma kekuasaan karena kekuasaan mampu melanggengkan hidup mewah," ucap Ryaas.
Jika kedua cara yang ditempuh tak juga membuat mereka yang haus kekuasaan kalah dalam pilkada, demikian Ginandjar, cara terakhir yang ditempuh adalah melakukan tindakan anarkis lewat massa masif.

Idealnya

Menurut Ginandjar, otonomi daerah sebenarnya sebuah keharusan untuk sebuah negara besar seperti Indonesia. "Otonomi atau desentralisasi kekuasaan adalah bagian dari proses demokratisasi," ujarnya.
Otonomi menjamin kohesi sosial dan kelestarian budaya masyarakat daerah. Otonomi juga bertujuan pembangunan ekonomi sukses. "Otonomi, selain harus menjamin hak-hak daerah atas sumber daya yang dimiliki, juga memberikan kesempatan berkembangnya potensi dan kearifan lokal," papar Ginandjar.
Menurut Wakil Ketua PAH IV Eka Komariah Kuncoro, implementasi otonomi daerah seharusnya dilakukan secara bertahap dan terkontrol teliti karena tidak semua daerah siap dengan otonomi daerah, terutama menyangkut kemampuan sumber daya manusia, kemampuan mengelola dan mengembangkan potensi ekonomi daerah, serta tingkat kepemimpinan elite lokal.
Eka berpendapat, seharusnya "pusat" membuat dulu secara rinci petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Lalu memilih sejumlah daerah sebagai proyek percontohan yang kemudian dievaluasi. Hasil evaluasi menjadi masukan bagi perbaikan juklak, juknis, bahkan menjadi bahan revisi kedua UU tersebut. "Hasil akhirnya, sebuah produk undang-undang yang implementatif dan efektif untuk semua daerah," papar Eka.
Hal senada disampaikan Ryaas Rasyid. Bivitri menambahkan, karena kondisinya sudah telanjur seperti sekarang, sebaiknya Depdagri segera membentuk tim khusus agar proses otonomi daerah kembali ke jalur yang tepat seperti yang diidealkan tadi.
Tim ini bertugas mengevaluasi, mengawasi, dan memberi masukan kepada Mendagri tentang tindakan yang harus dilakukan Mendagri. "Terutama menyangkut evaluasi dan perbaikan koordinasi kerja antara daerah tingkat satu, tingkat dua, dan pusat. Antara legislatif dan eksekutif lokal dengan yang di pusat," ujar anggota PAH IV lainnya, PRa Arief Natadiningkrat.
Menurut dia, selain dibutuhkan untuk membangun sinergi, koordinasi ini juga berperan mengikat keberagaman kultur, etnis, agama, serta aliran kepercayaan yang hidup.
Yang terjadi saat ini, kata Ginandjar, otonomi daerah dimaknai sebagai pembentukan pusat-pusat kekuasaan baru, atau dengan istilah anggota PAH IV, Nyoman Rudana, pembentukan kelompok-kelompok feodal baru.
Menurut Benyamin, ini bisa terjadi karena rendahnya wawasan politik dan kebangsaan elite lokal yang membuat mereka cuma berputar pada kepentingan lokal. Orang-orang seperti ini, kata Benyamin, mudah mengabaikan kepentingan nasional, apalagi kepentingan kemanusiaan. "Keterampilan politik mereka pun rendah sehingga sulit mengharapkan mereka kelak bisa menjadi negarawan di tingkat lokal," ungkapnya.
Ginandjar menambahkan, perbaikan otonomi daerah bukannya tanpa harapan. Ada sejumlah kepala daerah yang sukses mengelola daerahnya sehingga pemerintah daerahnya mampu memberi pelayanan gratis di sektor pendidikan dan kesehatan.
Meski demikian, sukses tersebut, seperti disampaikan Ryaas Rasyid, masih lebih tergantung individu pemimpinnya membangun sebuah sistem pemerintahan daerah yang baik.
Padahal, yang diharapkan daerah terhadap pusat adalah penyediaan sebuah sistem otonomi daerah yang menyeluruh yang mampu membentuk individu-individu berkualitas. Jadi, bukan sebaliknya, menggantungkan nasib masyarakat daerah hanya kepada segelintir elite lokal. Bila demikian halnya, proses otonomi daerah sebenarnya hanya ditujukan untuk elite lokal. Atau, seperti disebutkan Ginandjar, "untuk membangun pusat-pusat kekuasaan baru".


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Otonomi sebagai suatu sistem yang sedang dieksperimenkan di Indonesia, sampai sekarang rupanya tidak berjalan sesuai harapan, apalagi ditambah dengan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi didalamnya. Bukannya memberikan kemakmuran bagi masyarakat daerah, tetapi malah semakin memperparah kondisi perekonomian masyarakat, dengan munculnya raja-raja kecil yang merongrong negara. Bukan sistemnya yang salah tetapi manusia-manusia yang menjalankan sistem tersebut.