Selasa, 30 September 2008

Partai Politik Lokal

Artikel diambil dari tempointeraktif.com, edisi 22 Juli 2005

Di antara butir kesepakatan yang dihasilkan dalam perundingan antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia, ada pemberian amnesti kepada anggota GAM berikut pemulihan hak-hak politik, ekonomi, dan sosial.
Salah satu bentuk pemulihan hak politik yang begitu ramai dibicarakan adalah keinginan GAM membentuk partai politik lokal di Nanggroe Aceh Darussalam.
Ramainya pembicaraan terhadap keinginan GAM tidak hanya terbatas pada kemungkinan hadirnya partai politik lokal di Aceh, tapi kemungkinan terjadinya efek domino terhadap daerah lain di Indonesia. Apalagi keinginan membentuk partai politik lokal sudah terdengar sejak awal reformasi.
Setidaknya keinginan itu didasari pengalaman kehadiran partai politik lokal dalam Pemilihan Umum 1955. Artinya, dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan Indonesia, partai politik lokal bukan sesuatu yang ahistoris.
Buktinya, berkaca pada hasil Pemilihan Umum 1955, Herbert Feith membagi empat kelompok partai politik yang mendapatkan suara di DPR dan Konstituante, yakni partai besar, menengah, kelompok kecil yang bercakupan nasional, dan kelompok kecil yang bercakupan daerah.
Kelompok terakhir ini, menurut Feith, bisa dikategorikan partai atau kelompok yang bersifat kedaerahan dan kesukuan. Misalnya munculnya Partai Rakyat Desa, Partai Rakyat Indonesia Merdeka, Gerakan Pilihan Sunda, Partai Tani Indonesia, dan Gerakan Banteng di Jawa Barat. Tidak hanya itu, di daerah lain ada Gerinda di Yogyakarta dan Partai Persatuan Daya di Kalimantan Barat.
Sekalipun secara historis kehadiran partai politik lokal punya dasar yang cukup kuat, apakah dari aspek hukum (tata negara) kehadiran partai politik lokal dapat dibenarkan? Pertanyaan ini menjadi penting karena ada pendapat yang mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Partai Politik tidak memungkinkan adanya partai politik lokal.
Kalau dibaca dengan cermat UUD 1945, Pasal 28 mengamanatkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Salah satu sarana untuk mewujudkan kebebasan berserikat dan berkumpul itu adalah dengan membentuk partai politik.
Dengan membaca konstruksi hukum yang terdapat dalam Pasal 28, tidak cukup kuat alasan untuk mengatakan bahwa UUD 1945 menutup ruang bagi kehadiran partai politik lokal. Perdebatan bisa menjadi lebih dalam kalau dikaitkan dengan ketentuan bahwa kebebasan kemerdekaan berserikat dan berkumpul itu ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 1 UU Nomor 31/2002 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, dan negara melalui pemilihan umum.
Ketentuan tersebut mengandung makna bahwa partai politik dapat dikatakan sebagai representation of ideas (Ramlan Surbakti, 2002) tentang negara dan masyarakat yang dicita-citakan oleh sekelompok warga negara yang diperjuangkan melalui pemilihan umum. Apalagi, menurut John A. Jacobsohn (1998), the primary function of any political party is to win elections.
Meskipun secara eksplisit dinyatakan dapat dilakukan oleh sekelompok warga negara, pembentukan partai politik hanya dapat dilakukan dengan persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang. Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31/2000 menyatakan bahwa partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 tahun dengan akta notaris.
Sekiranya persyaratan kehadiran partai politik hanya sebatas ketentuan itu, dapat dipastikan tidak sulit membentuk partai politik lokal.
Kesulitan membentuk partai politik lokal muncul karena akta notaris harus memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang disertai susunan kepengurusan tingkat nasional.
Kesulitan makin terasa karena partai politik harus didaftarkan pada Departemen Kehakiman dengan memenuhi salah satu syarat, yaitu mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50 persen dari jumlah provinsi, 50 persen dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25 persen dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan.
Dengan adanya syarat partai politik mempunyai susunan kepengurusan tingkat nasional dan kepengurusan tingkat provinsi (sekurang-kurangnya setengah dari jumlah provinsi yang ada), kehadiran partai politik lokal menjadi hampir tidak mungkin direalisasi. Apalagi kalau mau mengikuti pemilihan umum.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Legislatif hanya memperkenankan partai politik mengikuti pemilihan umum kalau memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di dua pertiga dari jumlah provinsi dan pengurus lengkap sekurang-kurangnya di dua pertiga dari jumlah kabupaten/kota yang ada.
Barangkali menarik mengambil contoh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pasal 28 ayat 1 UU Nomor 21/2001 menentukan bahwa penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik.
Meski tidak secara eksplisit, ketentuan itu sering dimaknai sebagai ruang membentuk partai politik lokal. Apalagi, dalam ayat 3 dan ayat 4, masyarakat asli Papua diprioritaskan dengan meminta pertimbangan kepada Majelis Rakyat Papua. Namun, semangat "partai politik lokal" itu memudar dengan ketentuan dalam ayat 2, yang menegaskan bahwa tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan penjelasan di atas, mengecilnya ruang munculnya partai politik lokal sengaja didesain oleh mayoritas kekuatan politik di tingkat pusat. Padahal, untuk melakukan desentralisasi politik, kehadiran partai politik lokal merupakan sebuah keniscayaan.
Apalagi, dengan pola partai politik (yang serba terpusat) selama ini, aspirasi politik di tingkat lokal cenderung dinegasikan oleh sebagian besar partai politik yang ada. Barangkali kasus yang menimpa Alzier Dianis Thabrani dalam pemilihan Gubernur Provinsi Lampung pada 2002 cukup untuk menjelaskan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh partai politik berskala nasional.


Saldi Isra
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Consultant Parliamentary Caucus Partnership for Governance Reform in Indonesia

Tidak ada komentar: